Ketika nama Papua disebut, yang ada hanyalah gambaran sebuah pulau di ujung Indonesia, yang mayoritas penduduknya masih terbelakang, yang dikelilingi hutan belantara, jauh dari keramaian kota. Tepatnya sama dengan anggapanku kala mendengar nama pulau itu. Sedikit ada rasa miris dan takut untuk menginjakkan kaki di pulau itu. Takut terisolasi, takut tidak bisa mengikuti perkembangan jaman, bahkan takut tidak bisa menikmati berbagai fasilitas seperti layaknya di kota metropolis. Itu dulu, kala anganku belum berwujud.
Rumah Dinas Di Tepi Hutan |
Saat aku benar-benar menginjakkan kakiku di bumi cenderawasih (sebutan Papua), tepatnya di bandara Sentani, setelah melalui rute penerbangan malam antara Surabaya – Jayapura yang melelahkan ± 9 jam, bayanganku tentang Papua sedikit berubah. Ternyata Papua sangat indah, gunung-gunung yang membentang membentengi tepi jalan-jalannya ditambah dengan hijaunya pepohonan disekelilingnya, menambah semakin asrinya alam Papua.
Bahkan pesona danau Sentani yang amat luas dapat dinikmati setiap saat kala melewati kota Sentani – Jayapura. Apalagi saat digelar festival Danau Sentani yang diselenggarakan setiap bulan Juni, dimana tiap-tiap suku menampilkan kesenian masing-masing, sontak lautan manusia memenuhi tempat itu. Akupun ikut terjebak didalamnya.
Festival Danau Sentani |
Di Danau Sentani |
Penasaran ingin melihat dari dekat apa sebenarnya yang dipertontonkan dalam festival itu, aku bersama rombongan berniat ketempat itu, tapi truk yang kami tumpangi seolah tak bisa berkutik, maju tidak bisa apalagi mundur, jadilah kami berdiam diri disitu sambil menyaksikan lautan manusia yang padat membanjiri tempat itu, tanpa tahu apa sebenarnya festival danau Sentani itu.
Di PNG, serasa sdh di LN |
Sayang keindahan alam Papua tidak bisa dinikmati sekaligus. Lima tahun sudah aku tinggal di Jayapura, dan hanya seputaran Jayapura yang kuketahui (Waena, Abepura, Kotaraja, Arso, Koya, Perbatasan PNG, Kertosari), ya cuma itu. Ingin rasanya aku menginjakkan kaki di seluruh pelosok tanah Papua, bahkan pedalaman sekalipun. Tapi perjalanan kesana harus ditempuh melalui jalur udara dan memakan biaya yang teramat mahal. Jayapura – Sorong, Jayapura – Merauke, Jayapura – Nabire, Jayapura – Manukwari, Jayapura – Wamena, Jayapura – Timika, semuanya harus ditempuh dengan perjalanan udara. Sayang sekali keindahan kotanya tak dapat kunikmati, padahal masing-masing wilayah itu mempunyai adat, tradisi dan ciri khas tersendiri yang mungkin menarik simpati para wisatawan.
Di Jayapura pun rasanya aku terpesona dengan keindahan alamnya. Bukan hanya danau Sentani yang pesonanya amat memikat, bahkan tempat-tempat lain seperti holt the camp, pantai Best-G, Kertosari, tugu Mc. Arthur atau perbatasan PNG, juga tak kalah menariknya, meski perjalanan menuju tempat itu dipagari gunung-gunung dan hutan belantara.
Ya...itulah ciri khas alam Papua.
Bahkan pandangan orang mengenai Papua yang penduduknya masih terbelakang dan dipenuhi dengan hutan belantara, nyaris berbalik seratus delapan puluh derajat. Akupun ingin menepis anggapan yang salah itu.
Sekarang Papua sudah maju, banyak putra daerah yang berhasil membangun wilayahnya dan menunjukkan kehebatannya dimata dunia. Bahkan saat ini Jayapura (dimana aku tinggal) sudah sangat ramai, meski mayoritas penduduknya dipenuhi oleh pendatang dari berbagai pulau. Banyak sekolah-sekolah bahkan universitas yang didirikan. Tempat-tempat hiburanpun tak kalah maraknya. Mal-mal, dunkin donuts, KFC, pizza hut, gramedia sampai Sentani Top Square sudah berdiri kokoh dan dipadati pengunjungnya. Berbagai siaran televisi juga sudah bisa ditangkap dengan sinyal yang bagus. Sayang tak satupun gedung bioskop atau sineplek yang dibangun. Andaipun ada mungkin tempat itu tidak akan terawat.
Bayangkan, mayoritas penduduk asli Papua suka mengkonsumsi pinang, setelah itu dibuang sembarangan. Sudah barang tentu aromanya amat menyengat dan merusak pemandangan. Itulah salah satu ciri khas mereka, bahkan yang amat disayangkan kebiasaan mereka untuk bermabuk-mabukan sulit dihilangkan. Hampir setiap kecelakaan lalu lintas yang terjadi penyebabnya hanyalah pengendaranya sedang mabuk. Ini jelas-jelas membahayakan keselamatan jiwanya, bahkan nyawa taruhannya.
Mayoritas penduduk Papua beragama nasrani, tapi mereka menghormati para pendatang yang memeluk agama lain, Islam misalnya. Perayaan hari rayanyapun digelar secara besar-besaran. Inilah yang membedakan kebiasaan di Papua dengan kebiasaan di pulau-pulau lain seperti Jawa, Sumatera dan sekitarnya.
Hidangan Lebaran |
Saat perayaan hari besar agama, baik Islam maupun Nasrani, si empunya rumah selalu menyediakan jamuan besar-besaran layaknya sebuah pesta. Ada beberapa menu yang disajikan, seperti bakso, soto, siomay, es buah, puding, minuman kaleng disamping kue-kue kering yang disediakan di meja tamu. Bagi anak-anak yang berkunjung disediakan macam-macam snack yang dibungkus dalam plastik seperti layaknya suguhan ulang tahun. Biasanya acara kunjungan ini hanya berlangsung satu hari saja. Tak ayal kebiasaan ini sering dimanfaatkan oleh anak-anak putra daerah untuk mengumpulkan snack dan minuman kaleng (soft drink).
Mereka datang kerumah-rumah secara bergerombol sambil membawa karung, berharap mendapatkan seplastik snack atau sekaleng soft drink. Bayangkan bila sepuluh rumah yang mereka kunjungi sudah berapa buah bungkusan snack dan soft drink yang mereka dapatkan. Tentunya sudah dapat banyak. Ya, itulah kebiasaan yang mereka lakukan. Ini jelas berbeda dengan kebiasaan di Jawa.
Kalau di Jawa perayaan hari raya Idul Fitri misalnya, bisa berlangsung berhari-hari bahkan sampai satu bulan dan si empunya rumah hanya menyediakan kue-kue ala kadarnya yang disajikan di meja tamu, tanpa menyajikan makanan berat. Kalaupun ada, mereka hanya menyediakan untuk kerabat dekatnya saja. Inilah yang kualami ketika merayakan hari raya Idul Fitri di Jayapura, entah sudah menjadi tradisi atau dipandang berlebihan, akupun tak tahu. Tapi semuanya itu tidak memupuskan kecintaanku pada alam Jayapura.
Entah berapa lama lagi aku akan tinggal di Jayapura, akupun juga tak tahu, tergantung tugas suamiku. Yang jelas aku begitu menikmati segalanya di alam Papua ini. Buah matoa yang manis, akusa (aneka kue sagu), papeda (makanan khas Papua) dan yang tak kalah menariknya tarian pergaulan Yosim Pancar yang sering dilombakan pada event-event tertentu.
Senangnya aku bisa tergabung dlm Team Tari Anire |
Bersama Sanggar Pak Theo saat membawakan Tari Mambesak |
Team Tari Mambesak |
Team Tari yospan |
Mungkin beberapa tahun kedepan gunung-gunung yang menjulang tinggi itu akan hancur dan terkikis habis, berubah menjadi mal-mal dan bangunan-bangunan yang menjulang tinggi. Lihatlah buldozer yang tiap hari bekerja mati-matian melumat habis bebatuan cadas dan meratakan gunung-gunung itu. Ya...mungkin beberapa tahun kedepan Jayapura akan benar-benar menjadi kota metropolis, yang dipadati oleh bangunan-bangunan dan tempat-tempat hiburan, yang dipenuhi oleh lalu lalangnya kendaraan roda empat.
Tapi, akankah pendidikan juga menjadi prioritas utama? Sungguh amat mengenaskan mereka-mereka yang masih tinggal di pedalaman. Kehidupan mereka serba minim, apalagi pendidikan. Mungkin mereka sama sekali tidak mengenal apa itu pendidikan. Inilah yang menjadi tugas kita untuk membantu mengangkat mereka dari jurang kehancuran.
Uluran tangan kita amat berharga bagi kemajuan mereka, dan kemajuan bangsa Indonesia pada umumnya, karena mereka adalah bagian dari bangsa Indonesia yang patut mendapatkan perhatian khusus.
Sumber: http://www.yunihandono.com/2013/07/indahnya-pesona-papua.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar